Sebuah buku yang berisi kumpulan
tulisan dari para penebar virus literasi di Bumi Parigata Parigi Moutong yang
dengan slogannya songu lara mombangu.
Dimulai dari kebaikan kecil literasi di Parigi Moutong yang harus dikabarkan. Rela untuk melakukan kebaikan-kebaikan kecil dipusar aktivisme literasi, sehingga buku sebagai jendela dunia tak sekedar jargon dan catatan tujuh penggiat literasi ini menjadi bukti dari kebaikan kecil itu bisa menular dan membesar layaknya seperti virus.
Sebagai Ketua Forum Taman Bacaan Masyarakat Sulawesi tengah Neni Muhidin dalam pengantarnya membayangkan penggiat literasi di Sulawesi Tengah yang ditautkan secara emosional oleh kesamaan wilayah punya catatan pengalaman yang serupa karena kata beliau bahwa kebaikan harus dicatatkan.
Masih dalam sebuah pengantar yang dituliskan oleh Devi Artini Uga selaku Ketua Forum Taman Bacaan Masyarakat Parigi Moutong bahwa cerita dari teman-teman relawan pada buku ini merupakan energi. energi untuk bergerak, energi untuk tetap gelisah karena budaya membaca, menulis dan menceritakan lebih cepat punah dari ide menyusun kata-kata. Sehingga buku ini lebih awal kita jejerkan pada rak-rak buku atau taman baca yang coba kita bumikan bersama di 23 kecamatan yang ada di Parigi Moutong.
Dimulai dari kebaikan kecil literasi di Parigi Moutong yang harus dikabarkan. Rela untuk melakukan kebaikan-kebaikan kecil dipusar aktivisme literasi, sehingga buku sebagai jendela dunia tak sekedar jargon dan catatan tujuh penggiat literasi ini menjadi bukti dari kebaikan kecil itu bisa menular dan membesar layaknya seperti virus.
Sebagai Ketua Forum Taman Bacaan Masyarakat Sulawesi tengah Neni Muhidin dalam pengantarnya membayangkan penggiat literasi di Sulawesi Tengah yang ditautkan secara emosional oleh kesamaan wilayah punya catatan pengalaman yang serupa karena kata beliau bahwa kebaikan harus dicatatkan.
Masih dalam sebuah pengantar yang dituliskan oleh Devi Artini Uga selaku Ketua Forum Taman Bacaan Masyarakat Parigi Moutong bahwa cerita dari teman-teman relawan pada buku ini merupakan energi. energi untuk bergerak, energi untuk tetap gelisah karena budaya membaca, menulis dan menceritakan lebih cepat punah dari ide menyusun kata-kata. Sehingga buku ini lebih awal kita jejerkan pada rak-rak buku atau taman baca yang coba kita bumikan bersama di 23 kecamatan yang ada di Parigi Moutong.
Basrul dengan “Vespa Literasi”
yang menjadikan motor selayaknya perpustakaan keliling. Sehingga “Penyampaian
perasaan” melalui tulisan Cindy Suciati berujung pada terbit buku peradananya
dengan judul Tersimpan dalam doa. Muncul “Kegelisahan yang sama” dari Eli
Leu terhadap tingginya angka buta aksara di wilayah Komunitas Adat Terpencil
(KAT) yang bermukim di pedalaman dan wilayah pesisir.
Eva Syilva mengatakan bahwa “Ini bukan sekedar hobi, ini
perintah” untuk menebarkan virus literasi melalui TBM Sou Mpelava yang
digagasnya sejak Agustus 2018. Hal ini pun menimbulkan “Gerakan Hati” Fitriana
Hamzah untuk bersama menebar virus literasi di Bumi Parigata Parigi Moutong.
Sebagai lulusan Kebidanan Universitas
Indonesia Timur tahun 2016, Hastizia Ismira beralasan bahwa menulis adalah obat “Fraktur
Hepar” yang paling hebat sebab kandungannya adalah bahasa hati. Berbeda dengan Nur
Filda Seftiyani yang “Berliterasi karena bencana” sebulan sejak gempa 7,4 yang
terjadi tanggal 28 September 2018.
Maka tak salah lagi apa yang
dikatakan pada pengantar di atas bahwa menebar virus literasi merupakan
kebaikan-kebaikan kecil yang dilakukan oleh relawan literasi dalam catatan mereka
masing-masing sehingga menghasilkan energi untuk membumikan literasi di Bumi
Parigata Parigi Moutong.
Tulisan ini hanya Catatan Kecil lengkapnya ada pada Buku
“Menebar Virus Literasi di Bumi Parigata, Kumpulan
Tulisan Penggiat Literasi Parigi Moutong”